Bu ‘Sandiah’ Kasur
Sandiah atau
lebih dikenal dengan nama Ibu Kasur (Jakarta, 16 Januari
1926 – Jakarta, 22
Oktober 2002)
adalah pembawa acara Taman Indria di TVRI dan juga pendiri TK Mini di Jakarta. Ia mendapat
julukan Ibu Kasur karena suaminya (Soerjono) dipanggil Pak
Kasur. Panggilan Kasur berasal dari kata Kak Sur, sebutan akrab Pak Kasur
yang bernama asli Suryono. Bu Kasur adalah tamatan Meer Uitgebreid Lager Onderwijs
(MULO). Ia dan suaminya bertemu karena sama-sama anggota Kepanduan Indonesia.
Mereka menikah di Yogyakarta pada tanggal 29 Juli 1946 dan dikaruniai lima anak: Sursantio,
Suryaningdiah, Suryo Prabowo, Suryo Prasojo, dan Suryo Pranoto.
Beliau mulai
dikenal sebagai Ibu Kasur setelah mengasuh Taman Putra dan Taman Pemuda di
Jakarta bersama suaminya, Pak Kasur. Ibu Kasur merupakan tamatan Meer
Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di akhir tahun 1930-an. Setelah Pak Kasur
meninggal, lembaga pendidikan anak itu berubah menjadi TK Mini Pak Kasur tahun
1968 yang kini mempunyai lima cabang di kawasan Jabotabek, yaitu di Cikini,
Cipinang, dan Pasar Minggu (ketiganya di Jakarta), serta di Kemang (Bekasi),
dan Banjar Wijaya (Tangerang).
Sampai menjelang akhir hayat, Ibu Kasur selalu
ingin mendidik anak-anak. Meski belakangan tidak lagi langsung mengajar, namun
masih selalu secara rutin mengunjungi TK Mini Pak Kasur. Ia selalu akrab dengan
anak-anak. Selalu mengajak tos kepada anak-anak untuk memberi salam.
Sudah banyak alumninya yang sudah
menjadi orang besar. Diantaranya Presiden Megawati, Guruh dan Hayono Isman
(mantan Menpora) serta Ateng (pelawak). Juga hampir seluruh cucu bahkan cicit
H.M. Soeharto, mantan presiden, sekolah di TK Mini Pak Kasur.
TK Mini berdiri sejak 1965 setelah Pak Kasur bersama keluarganya pindah
ke Jakarta dari Bandung. Pada 1968 Pak Kasur purnakarya dari
Depdikbud dalam kapasitasnya sebagai anggota Badan Sensor Film (BSF), Semula TK
itu berada di rumahnya di Jln. H. Agus Salim dengan Taman Kanak-kanak, Taman
Putera, dan Taman Pemuda. Namun, Taman Putera dan Taman Pemuda tidak
dikembangkan, bahkan ditutup. Untuk menampung anak-anak dari berbagai kelompok
umur, TK Mini dibagi dalam tiga jenjang, yaitu "Parkit" untuk anak
usia tiga tahun, "Kutilang" untuk anak empat tahun, dan
"Cendrawasih" untuk anak lima tahun.
Bu Kasur tidak menganal kata bosan berkecimpung dalam dunia pendidikan
dasar anak-anak. Menurutnya, ada kenikmatan tersendiri ketika mengamati
bagaimana anak-anak itu berkembang dari hari ke hari. Kelucuan, kepolosan
anak-anak membuatnya lebih 'hidup'.
Ada
dinamika yang membuat dirinya bertambah 'kaya'. Seminggu sekali diadakan
semacam upacara bendera untuk memperkenalkan anak pada lambang negara. Suatu
kali ada seorang murid TK yang terlambat mengikuti upacara. Si anak tidak mau
bergabung dan minta pulang karena terlambat. Tapi ibunya memaksa sampai anak
itu menangis. Usut punya usut ia terlambat karena mobil harus mengantar ayahnya
dulu ke kantor. “Lalu saya bilang pada si ibu, sifat malu datang terlambat itu
mestinya dipelihara. Usul saya biar nanti tidak terlambat, si anak didrop lebih
dulu, baru bapaknya. Bapaknya 'kan
tidak menangis kalau terlambat masuk kantor? He-he-he ...," ceritanya.
Tidak jarang Bu Kasur mendapatkan persepsi keliru dari orang tua murid
tentang cara dia mengajar. Suatu ketika, di lantai kelas ia menebarkan permen
dengan perintah agar anak-anak memunguti permen itu sebanyak-banyaknya.
Anak-anak pun kontan berebut. "Tahu-tahu ada ibu yang menunggui anaknya
sekolah nyeletuk, 'Jangan ikut rebutan permen itu, nanti pulang sekolah ibu
belikan coklat.'
"Waduh! Lalu saya jelaskan pada si ibu bahwa apa yang saya lakukan
itu untuk melakukan observasi, dan hasilnya nanti akan saya pakai sebagai bahan
untuk mengembangkan sifat-sifat positif anak. Ketika anak-anak mendapat
perintah untuk mengumpulkan permen sebanyak-banyaknya, ada yang mengambil
satu-dua, balik lagi, ambil lagi. Tapi ada yang kerjanya efisien dengan meraup
sebanyak-banyaknya, lalu ditaruh di ujung kemejanya, baru diletakkan di meja
saya. Dari situlah saya melakukan observasi," terang Bu Kasur. Ia juga
mengatakan, sistem belajar sambil bermain bisa mendeteksi secara dini kalau ada
kelainan kejiwaan seperti fobi ketinggian, fobi lingkungan, atau kelainan buta
warna pada anak.
Bahasa Inggris juga diajarkan di sekolah TK Mini. Namun, itu sekadar
pengenalan sifatnya. "Hanya seminggu sekali dalam satu jam. Tujuannya agar
anak terbiasa mendengar bahasa yang lain dari bahasa ibunya. Biasanya diajarkan
lewat lagu. Kalau lagunya hafal, lama-lama artinya juga. Lagu-lagu Pak Kasur
pun tetap dipakai, karena lagu-lagu Bapak berpengetahuan," kata Bu Kasur.
Pada tahun 1950-an, bersama Pak Kasur, almarhumah mengasuh siaran
anak-anak di RRI Jakarta. Ketika TVRI berdiri pada tahun 1962, Ibu Kasur
mengasuh acara serupa, yaitu Arena Anak-anak dan Mengenal Tanah Airku. Pada
awal tahun 1970-an, Ibu Kasur dikenal sebagai pengasuh acara Taman Indria di
TVRI. Ketika televisi swasta muncul, almarhumah juga hadir di acara Hip Hip
Ceria di RCTI.
Seperti halnya Pak Kasur, Ibu Kasur juga dikenal sebagai pencipta lagu.
Di antara lagu ciptaan almarhumah yang terkenal sampai sekarang adalah
Kucingku, Bertepuk Tangan, dan Main Sembunyi. Sekadar mengingatkan, inilah
lirik awal lagu Main Sembunyi : ... Siapa itu di belakang pintu/ sedang
sembunyi/ perutnya gendut, hidungnya mancung/ Tentu si Honi.
Belakangan, dalam kaset lagu anak-anak dari Ibu Kasur, nama Honi berubah
menjadi Dodi. Dan, rupanya nama dalam lagu itu bisa berubah sesuai dengan
situasi. Asal tahu saja, nama Honi diambil dari murid Ibu Kasur yang kini
berprofesi sebagai dokter di Jakarta.
Tak seberapa banyak memang karya lagu ciptaan Bu Kasur dibandingkan
dengan karya-karya suaminya yang mencapai sekitar 140 lagu. "Tak sampai 20
lagu saya," kata Bu Kasur tentang jumlah karyanya.
Apalagi di usianya yang sudah kepala tujuh (lahir 16 Januari 1926 di Jakarta), ia nyaris tidak
lagi memproduksi lagu. Untuk ukuran wanita seusianya, Bu Kasur masih tergolong
cukup energik; menerima tetamunya yang hampir tiap hari mengalir ke rumahnya,
terutama orang tua murid; masih giat mengikuti pelbagai acara (seperti
berdarmawisata) yang diselenggarakan oleh sejumlah Taman Kanak-kanak di bawah
Yayasan Setia Balita yang dipimpinnya. Ia juga menjadi pembicara seminar di
berbagai tempat, atau menjadi juri di pelbagai lomba kreativitas maupun
menyanyi lagu anak-anak.
Senyumnya yang khas mengembang saat pikirannya menerawang ke masa hampir
empat puluh tahun lalu ketika wanita itu masih membawakan acara Taman Indria,
Arena Anak-anak, dan Mengenal Tanah Air di TVRI. "Jadi, sejak 1962 saya
sudah menjadi pengasuh acara-acara itu di TVRI," kenangnya.
Bu Kasur memang dikenal karena mengasuh sejumlah acara anak-anak di televisi dan juga radio. Dunia anak-anak sepertinya tak bisa lepas dari kehidupan Bu Kasur dan juga suaminya. Dengan penuh kesabaran dan ketulusan, pasangan suami-istri itu membimbing anak-anak belajar sambil bermain. Juga bernyanyi!
Bu Kasur memang dikenal karena mengasuh sejumlah acara anak-anak di televisi dan juga radio. Dunia anak-anak sepertinya tak bisa lepas dari kehidupan Bu Kasur dan juga suaminya. Dengan penuh kesabaran dan ketulusan, pasangan suami-istri itu membimbing anak-anak belajar sambil bermain. Juga bernyanyi!
Belajar sambil bermain, bermain sambil belajar. Itulah kata kunci yang
melandasi pola pikir dan pola tindak yang senantiasa dihayati dan dilaksanakan
hingga sekarang dalam mengelola sekolah Taman Kanak-kanaknya. "Lagu Sayang
Semua, misalnya, itu mengandung unsur pembelajaran sekaligus pendidikan meski
sederhana. Lagu itu lahir karena saya ingin mengajar anak-anak mengenali dan
menanamkan rasa cinta kepada anggota keluarga sambil memperkenalkan
angka-angka," tutur Bu Kasur sambil mengaku terkejut campur bahagia ketika
pihak PT Unilever memberikan semacam royalti kepadanya karena lagu itu dipakai
sebagai jingle atau theme song dalam salah satu iklan susu mereka.
Kesederhanaan, demikian Bu Kasur, memang mutlak menjadi karakteristik
lagu anak-anak. Sederhana lagunya, sederhana syairnya. Sampai-sampai Bu Kasur
berusaha sebisa mungkin menghindari pemakaian huruf "r" pada
syair-syair lagunya seperti dipesankan dan dilakukan mendiang Pak Kasur.
"Alasannya, huruf 'r' itu 'kan termasuk huruf yang relatif sulit di lidah
anak-anak," terang Bu Kasur.
Semangat hidup maupun dedikasinya terhadap dunia anak-anak terus menggebu
sampai pada tahun 1992 obor spirit yang menyala-nyala itu nyaris padam tak
berbara ketika sang suami tercinta dipanggil menghadap Tuhan. Wanita keturunan
Jawa itu terpuruk. Setahun lamanya, nyaris tak ada yang ingin dilakukannya.
"Saya kehilangan semangat," tutur Bu Kasur.
Bahkan selama sang suami menderita sakit sebelum meninggal pun, ia sudah
memutuskan berhenti dari seluruh kegiatannya di berbagai program televisi
asuhannya serta kegiatan lain. "Semua waktu, tenaga, dan perhatian saya
curahkan hanya untuk merawat Pak Kasur," ujar nenek sebelas cucu ini.
Untunglah, kelima putra-putrinya - Sursantio (lahir 1948), Suryaningdiah
(1950), Suryo Prabowo (1951), Suryo Prasojo (1958), dan Suryo Pranoto (1962) -
terus memompa semangatnya untuk bangkit. Begitu juga sobat, handai tolan,
maupun para orang tua murid dan para guru sekolah TK-nya. Mereka silih berganti
mencoba membongkar kebekuan Bu Kasur agar kembali meneruskan perjuangannya yang
telah dirintis bersama Pak Kasur.
Bu Kasur sendiri sebenarnya tak pernah bermimpi kalau sebagian hidupnya
bakal tertumpah untuk anak-anak. Sebagai anak sulung dari lima bersaudara, dia
memang menerima kewajiban mengurus adik-adiknya. "Apalagi saya ini enggak
punya latar belakang disiplin ilmu tertentu. Kalau ada yang bilang saya ini
autodidak, mungkin ada benarnya, ya?" ujar wanita yang mengaku
"hanya" lulusan sekolah setingkat SMU di zaman pendudukan Jepang
dulu.
Semua itu tidak lain berkat dorongan Pak Kasur, yang dia anggap guru
besarnya. "Setelah menikah dengan Pak Kasur, saya sering diajak terlibat
dengan apa yang dikerjakannya. Waktu zaman Belanda, dia seorang guru HIS.
Begitu pula saat menjadi pegawai Departemen Penerangan dan Pak Kasur sering
mengumpulkan anak-anak di halaman rumah untuk siaran RRI," kata Bu Kasur
yang menikah setahun setelah Indonesia merdeka, 1946.
Mula-mula memang dirasakannya berat ketika ia "dipaksa" Pak
Kasur untuk menggantikannya siaran di RRI setiap kali suaminya sedang
berhalangan, ke luar kota. "'Kamu bisa. Kamu harus bisa, sebab kamu mesti
bantu saya' kata Bapak. Memang saya sempat gemetaran, grogi, dan ngomong
tersendat-sendat waktu pertama kali siaran. Tapi syukurlah, lama-lama
bisalah," kenangnya saat mengawali debutnya sebagai pengasuh acara
anak-anak di media massa elektronik itu.
Bu Kasur dulu juga bekerja. Ia bertemu dengan pemuda Soerjono ketika
sama-sama menjadi pegawai di Kantor Karesidenan Priangan, Bandung. "Tapi
setelah punya anak, saya minta izin lagi untuk bekerja. Tetapi Bapak bilang,
'Boleh, bagus itu. Cuma kalau kamu kerja, aku yang di rumah. Itu 'kan anak kamu
dan anakku, masa jadi anak simbok.' Lewat cara itu, dia melarang dengan
bijaksana. Saya enggak jadi marah karena dilarang. Maka untuk mengisi waktu,
saya menulis di majalah anak-anak," cerita Bu Kasur yang kini mengasuh
salah satu rubrik di Majalah Bocil terbitan Gramedia Majalah.
Bijaksana. Itulah konon yang menjadi salah satu daya pukau pemuda Soerjono
bagi pemudi Sandiah alias Bu Kasur. Sikap itu pula yang menjadi pegangan untuk
menjalankan fitrah hidupnya hingga kini, termasuk dalam mendidik anak-anak.
"Saya mencoba meneladaninya. Kalau Bapak mengkritik atau memberi
nasihat kepada siapa pun, tidak pernah bikin orang sakit hati, menang tanpa
ngasorake (maksud kesampaian tanpa merendahkan martabat orang - Red.). Ketika
mengkritik sambil menuding-nuding dengan jari telunjuk, kita sering lupa bahwa
jari tengah, jari manis, dan kelingking mengarah ke tubuh kita. Itu sebenarnya
mengandung falsafah bahwa mengkritik boleh, tapi kita harus lebih banyak mawas
diri sebelum mengkritik orang lain," kata Bu Kasur.
Satu lagi wejangan suaminya yang tak pernah ia lupakan, "Kalau manis
jangan langsung ditelan, kalau pahit jangan serta merta dimuntahkan."
Maksudnya, kata Bu Kasur, kita mesti melihat proses, melakukan analisis,
membuat kesimpulan, baru kemudian menentukan sikap dan tindakan yang akan
dilakukan ketika menghadapi suatu peristiwa atau menyelesaikan persoalan.
Penghargaan
Atas jasanya di dunia pendidikan anak-anak, Ibu Kasur pernah menerima
sejumlah penghargaan, antara lain Bintang Budaya Para Dharma pada tahun 1992,
penghargaan dari Presiden dalam rangka Hari Anak Nasional (1988), serta Centro
Culture Italiano Premio Adelaide Ristori Anno II dari Pemerintah Italia pada
tahun 1976.
Terakhir Bu Kasur juga mengantungi penghargaan sebagai pembawa acara
anak-anak legendaris di televisi. Penghargaan tersebut dipajang di ruang kerja
Ibu Kasur. Di ruang yang sama terpampang juga foto-foto Pak Kasur. Namun,
segala penghargaan itu, apa pun bentuknya, tidak lantas membuat Bu Kasur puas
dan berbangga diri, apalagi menepuk dada.
Ia merasa belum apa-apa. Ia hanya menjalankan peran sebagai ibu dan ingin
tetap dekat dengan dunia anak. Malah ia berharap ada yang dapat melanjutkan
perjuangan Pak Kasur. Sekarang orang-orang yang seperti zaman dulu sudah
langka. Mereka memang bagus-bagus, tapi terlalu berorientasi pada
komersialisme. Dulu Pak Kasur dibilang terlalu idealis
Ia mengaku, apa yang dia kerjakan sampai saat ini tidak berbeda dengan
ketika ia mengasuh putra-putrinya sendiri. "Anak-anak saya didik lewat
lagu atau tulisan. Saya tekankan etika, estetika, etos kerja, dan kreativitas.
Kita bisa mendidik anak secara lebih mudah dengan menggugah kreativitas
mereka," tutur Bu Kasur.
Semasa hidup, almarhum sempat melanjutkan obsesi suami yang tertunda, yakni membuat film anak-anak. Lewat gagasannya, yang kemudian digarap Syamsudin, seorang juru kamera sekaligus produser, obsesi itu terwujud dengan diproduksinya film berjudul Amrin Membolos.
Semasa hidup, almarhum sempat melanjutkan obsesi suami yang tertunda, yakni membuat film anak-anak. Lewat gagasannya, yang kemudian digarap Syamsudin, seorang juru kamera sekaligus produser, obsesi itu terwujud dengan diproduksinya film berjudul Amrin Membolos.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar